Minggu, 11 Januari 2015

Taktik & Filosofi Permainan Sepak Bola

Posted: January 29, 2014 in Others
0
 
 
 
 
 
 
1 Vote

Secara umum keindahan permainan sepakbola berfokus pada skill individual setiap pemain dalam menggiring si kulit bundar. Gaya dan seni menggiring bola atau biasa disebut “gocekan” sering menjadi sorotan publik sepakbola. Siapa yang tidak terkesima dengan cara mengolah bola ala Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Neymar, dan Ronaldinho saat tampil di lapangan hijau. Keindahan sepakbola ternyata bukan hanya melihat dari sisi si pemain saja, melainkan melihat keindahan sepakbola secara holistik. Dengan arti sepakbola akan lebih indah jika dipadu dengan taktik dan filosofi permainan, bukan hanya skill individual saja.
Ancient Formation
Berbicara taktik berarti berkonsentrasi pada strategi permainan sebuah tim sepakbola. Taktik dan skema permainan sepakbola selalu berujung pada formulasi penempatan pemain atau biasa disebut formasi. Apabila mundur pada abad ke-19, yakni pada awal keberadaan kompetisi-kompetisi sepakbola di Eropa, ciri khas permainan sepakbola menyerang sangat jelas terlihat. Ambil contoh, pertandingan internasional pertama di dunia antara Inggris melawan Skotlandia tahun 1872. Pada saat itu, Inggris turun dengan formasi 1-2-7, alias satu pemain bertahan, dua gelandang dan tujuh penyerang. Skotlandia sendiri bermain dengan formasi 2-2-6. Bahkan Inggris sempat bermain dengan formasi 1-1-8 di tengah-tengah pertandingan. Lucunya, meskipun ada 13 penyerang di lapangan, pertandingan tersebut berakhir imbang kacamata tanpa gol. Pada skema 1-2-7, satu pemain belakang hanya diberi tugas untuk memotong bola yang lepas ke daerah pertahanan. Kemudian, bola langsung diumpan ke pemain tengah, sebelum diarahkan ke depan dan dikejar oleh para pemain depan. Taktik permainan seperti ini menganut sistim mencetak gol secepat mungkin, sehingga tidak mengatur alur tempo permainan.
Mengakhiri era abad ke-19, muncul skema formasi baru, yaitu 2-3-5 yang dipopulerkan oleh Wrexham yang memenangi Piala Wales. Skema tersebut menjadi populer dan dikenal sebagai “skema piramida” lantaran bentuknya yang mirip piramida apabila digambar. Berkat Wrexham, formasi 2-3-5 menjadi skema langganan setiap tim kesebelasan sepakbola pada tahun 1890-an hingga tahun 1940-an. Karena sangat populer, tim nasional Indonesia (Hindia Belanda) juga ikut mencoba menerapkan skema permainan ini pada Piala Dunia 1938. Formasi ini cukup mengundang banyak perhatian dari berbagai tim, karena skema ini sudah menganut sistim pengaturan tempo permainan dan memiliki karakteristik bertahan dan menyerang yang seimbang. Sekilas dari skema ini, kedua fullback akan fokus mengawal dua pemain sayap lawan, sedangkan ketiga pemain tengah akan fokus mengawal tiga penyerang tengah apabila sedang dalam posisi diserang.
Di waktu yang sama saat formasi 2-3-5 marak menjadi taktik sempurna, Herbert Chapman memperkenalkan skema 3-2-2-3 atau 3-4-3. Pelatih legenda Arsenal F.C menerapkan taktik pada tim The Gunners di setiap kompetisi sepakbola di Britania Raya. Skema yang diterapkan oleh Chapman memang terbilang baik, karena komposisi pemain belakang bertambah satu, dari 2 (dua) menjadi 3 (tiga). Tujuan penambahan satu pemain belakang oleh Chapman agar dapat memperkuat lini pertahanan, kendati demikian Chapman masih mengandalkan strategi gaya menyerang dengan menggunakan 3 (tiga) penyerang. Sedikit mirip tapi berbeda jika berlabuh ke Hungaria, sosok Marton Bukovi melakukan perubahan sedikit dari skema Chapman, Bukovi memformulasi formasi 3-2-3-2. Perubahan skema ini disebabkan karena kurangnya komposisi pemain, karena tidak memiliki penyerang tengah yang baik maka Bukovic mengambil langkah untuk menarik mundur menjadi posisi playmaker. Skema ini sukses diterapkan oleh tim nasional Hungaria era pemain legenda Ferenc Puskas tahun 1950-an.
Modern Formation
Evolusi perubahan formasi selalu mengikuti arah perubahan komposisi pemain, atau bisa jadi perubahan formasi untuk sekedar uji coba saja.  Dari komposisi 3 (tiga) pemain bertahan, tim nasional Brazil tahun 1970 menggunakan skema 4-2-4, saat itu Pele menjadi pemain yang merasakan uji coba formasi fenomenal ini. Terbukti formasi ini disebut-sebut menjadi winning formation. Sekilas skema ini memiliki lebih banyak pemain bertahan dari formasi-formasi sebelumnya, tapi para pengguna skema ini percaya bahwa pertahanan yang kuat bisa menghasilkan serangan yang lebih kuat lagi. Meskipun begitu, karena hanya ada dua pemain tengah, formasi ini membutuhkan pemain-pemain dengan stamina yang baik. Selain itu, para pemain bertahan harus mampu menggiring dan mengumpan bola di samping merebut bola dari kaki lawan karena pemain bertahan seringkali diposisikan sebagai pemain yang memulai atau membangun serangan.
Formasi fenomenal 4-2-4 kembali menjadi skema favorit setiap tim sepakbola, namun lucunya tim nasional Argentina dan Jerman Barat justru kembali ke formasi klasik yakni 3-5-2 pada tahun 1986 dan 1990. Formasi 3-5-2 digunakan untuk memperkuat lini tengah, skema ini dipercaya dengan memperkuat lini tengah, maka probabilitas menahan serangan musuh dapat diimbangi dengan memperbanyak pemain tengah. Skema serangan pada formasi ini berpusat pada pemain sayap, motor serangan berada di kaki setiap pemain sayap. Oleh karena itu tim yang ingin menggunakan taktik ini harus memiliki 2 (dua) pemain sayap yang memiliki kecepatan dan stamina yang kuat, karena kedua pemain harus beroperasi di dua area, yaitu menyerang dan bertahan.
Meski skema 3-5-2 sukses menjadi taktik favorit, formasi lain seperti 4-4-2, 4-3-3, dan 4-4-1-1 muncul di beberapa daratan Eropa. Formasi ini digunakan oleh A.C Milan di akhir tahun 1980an oleh Arrigo Sachi dan Fabio Capello, dan klub asal Inggris seperti Man.Utd dan Arsenal juga ikut mencicipi skema permainan ini. Formasi dengan 4 (empat) pemain belakang dan tengah adalah dalah salah satu formasi yang terpopuler di dunia sepakbola, dan memiliki cukup banyak variasi. Formasi ini sangat populer karena bentuknya yang cukup seimbang dan dapat digunakan untuk melakukan penyerangan tanpa terlalu banyak mengorbankan lini belakang. Akan tetapi, formasi ini membutuhkan pemain tengah dengan stamina dan kemampuan fisik di atas rata-rata, karena mereka akan membantu baik lini belakang maupun lini depan lantaran jarak antar lini cukup lebar.
Play with Philosophy
Sebetulnya mengutak atik formasi sudah menjadi cara lama, selain formasi, konsep filosofi permainan sudah mulai diterapkan di setiap tim sepakbola. Skema formasi bukan menjadi pusat konsentrasi lagi, melainkan setiap tim harus memilih sebuah konsep permainan. Formasi bukan menjadi bagian vital dari sebuah tim, formasi hanyalah sebuah barisan, entah mempertajam lini serang, memperkuat pertahanan, dan mengantisipasi taktik lawan. Pada prinsipnya, pemilihan formasi dan taktik yang tepat bertujuan untuk dua hal, yaitu memaksimalkan potensi pemain yang dimiliki, atau meminimalisir dampak kekurangan skill individu pemain yang ada.
Beberapa tim sering bermain bukan hanya berfokus pada pemilihan formasi, melainkan memilih konsep filosofi permainan. Konsep filosofi permainan sebetulnya hanya ada dua kelompok, yaitu bermain cantik dan sekedar bermain yang penting hasil akhir. Istilah seperti sepakbola kick and rush, catenaccio, joga bonito, dan total football merupakan turunan kecil setiap kelompok filosifi. Seperti halnya konsep joga bonito ala Brazil, praktis permainan sepakbola Brazil hanya ingin menunjukan permainan yang apik, dan bisa dipastikan tidak peduli akan hasil akhir pertandingan. Sedangkan permainan pragmatis Catenaccio ala Italia yang sangat defensif lebih cenderung berorientasi kepada hasil pertandingan dengan membuang jauh ide bermain cantik yang dipenuhi dengan passing-dribling yang brilian namun beresiko. Gaya pragmatis ala Italia membuang jauh-jauh pola permainan indah, tujuan akhir menang apapun caranya, bisa jadi menggunakan taktik diluar sepakbola seperti mengulur waktu, pura-pura cedera, dan sebagainya.
Yang menarik jika melihat gaya permainan total football ala negeri kincir angin, yaitu pola Total Football yang diusung Rinus Michels bersama Ajax Amsterdam. Formasi standar pada total football adalah 4-3-3, karena pada dasarnya mereka bermain menggunakan 4 defender, dan tidak salah juga bila dikatakan 1-3-3-3 karena salah satu dari defender tersebut memposisikan diri lebih di belakang centre back, dan bermain di luar unit pertahanan sebagai seorang libero. Sepakbola ala Michels ini dimainkan dengan kemampuan para pemainnya untuk memanipulasi ruang. Mereka memposisikan diri sangat rapat satu sama lain ketika kehilangan bola untuk membatasi pergerakan pemain lawan, kemudian melebar ketika menyerang untuk membuka ruang bagi pemainnya melakukan serangan bersama-sama sebagai satu unit kesatuan. Dikombinasikan dengan pergerakan konstan para pemain yang saling bertukar posisi dengan pemain di depannya, formasi ini sangat membingungkan bagi lawan yang pada masa itu umumnya menerapkan sistem pertahanan man-marking. Untuk memaksimalkan formasi ini, setiap pemain diwajibkan memiliki skill bertahan, mengoper, dan mencetak gol dengan sama baiknya. Hasilnya, sepakbola indah Total Football ala Belanda yang me legenda. (JRT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar